Sejarah singkat Betawi

Sifat campur aduk dalam dialek Betawi adalah cermin dari kebudayaan Betawi secara umum. yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya orang betawi memiliki Seni Gambang Kromong yanag berasal dari seni musik China, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatar belakang ke-Belanda-an.

Secara biologis mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. mereka adalah hasil kawin-mawinantaretnis dan bangsa di masa lalu.

Oleh sebab itu, apa yang disebut orang atau Suku betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduanberbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, bali, Sumabawa , Ambon, dan Melayu. Antropolog Universitas Indonesia, DR Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Kesenian Betawi

Gambang kromong

Gambang kromong adalah sebuah seni tradisi masyarakat betawi. Musik tradisi ini terdiri dari instrument :

· Gambang (silofon) dengan 18 nada yang dilaras/tangga nada pentatonic dengan panjang tiga setengah oktaf

· Sepuluh buah gong kettle kecil (kromong) yang dilaras pentatonic sepanjang 2 oktaf

· Sebuah tehyan alat musik yang berasal dari Tionghoa yang cara memainkannya digesek.

· Sebuah flute/seruling yang berasal dari Tionghoa

· 2 buah gong gantung(kempul dan gong) kendang, dan kecrek, instrument tersebut adalah asli Indonesia.

· Satu atau lebih gitar elektrik sebagai bass mampun melodi

· Satu atau lebih alat musik barat seperti trompet, clarinet saxofon, keyboard instrumen tersebut berasal dari barat.

Masyarakat pemilik/pendukung kesenian ini adalah masyarakat Tionghoa keturunan dari perkawinan campur Tionghoa-Pribumi, dan milik masyarakat Betawi asli yang saat ini mulai bergeser dari pusat Jakarta ke pingiran Jakarta seperti Bogor utara dan Tangerang.

Masyarakat keturunan Tionghoa disini adalah orang Tionghoa yang berasal dari Hokkian dari daerah Fujian di sebelah selatan Tiongkok yang datang ke Batavia/Jakarta dan melakukan perkawinan dengan masyarakat pribumi (betawi). Sedangkan masyarakat betawi adalah berasal dari hampir seluruh wilayah di Indonesia yang dibawa oleh pemerintah colonial sebagai budak dan ada yang sengaja datang untuk bekerja atau berdagang. Karena pada masa itu pelabuhan di Batavia/Jakarta adalah pelabuhan teramai dan menjadi sebuah pusat perdagangan sangat sibuk.

Lalu kelompok para pendatang inipun menetap di Batavia dan hidup dalam sebuah perkampungan besar yang dihuni oleh beragam etnis lalu lahirlah kesenian yang dinamakan Gambang Kromong sebuah seni tradisi yang unik karena terjadinya alkulturasi budaya Tionghoa dan masyarakat pribumi dari latar belakang budaya yang berbeda pula.

Hingga saat ini kesenian gambang kromong masih dipentaskan dalam acara-acara perkawinan maupun pertunjukan lenong/teater rakyat. Kehidupan harmonis antara masyarakat keturunan/tionghoa dengan masyarakat pribumi tercermin dari kesenian Gambang kromong yang merupakan produk budaya bersama,

sehingga kita teramat sangat prihatin dengan gesekan-gesekan social antara warga pribumi dengan masyarakat non pribumi seperti yang terjadi pada tahun 1998 karena peristiwa tersebut telah mengkianati persaudaraan yang telah terjalin ratusan tahun yang lalu yang diajarkan oleh nenek moyang kita. Semoga kita dapat belajar dari sejarah bahwa pluralisme dan keberagaman itu indah. Naga dan Garuda dapat bahu membahu menapaki perjalanan waktu

Tokoh Betawi

Benyamin Sueb

Benyamin S lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939. Benyamin Sueb memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Lebih dari 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut.



Dalam dunia musik, Bang Ben (begitu ia kerap disapa) adalah seorang seniman yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Benyamin semakin popular.


Tahun 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karir musik Benyamin, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Bang Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern.

Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Benyamin sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia.

Selain Benyamin, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengan Benyamin. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling popular pada zamannya di Indonesia. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi.

Orkes Gambang Kromong Naga Mustika dilandasi dengan konsep musik Gambang Kromong Modern. Unsur-unsur musik modern seperti organ, gitar listrik, dan bass, dipadu dengan alat musik tradisional seperti gambang, gendang, kecrek, gong serta suling bambu.

Setelah Orde Lama tumbang, yang ditandai dengan munculnya Soeharto sebagai presiden kedua, musik Gambang Kromong semakin memperlihatkan jatidirinya. Lagu seperti Si Jampang (1969) sukses di pasaran, dilanjutkan dengan lagu Ondel-Ondel (1971).

Lagu-lagu lainnya juga mulai digemari. Tidak hanya oleh masyarakat Betawi tetapi juga Indonesia. Kompor Mleduk, Tukang Garem, Bang Puase, dan Nyai Dasimah adalah sederetan lagunya yang laris di pasaran.

Terlebih setelah Bang Ben berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Nonton Bioskop, nama Benyamin menjadi jaminan kesuksesan lagu yang akan ia bawakan.

Setelah Ida Royani hijrah ke Malaysia tahun 1972, Bang Ben mencari pasangan duetnya. Ia menggaet Inneke Kusumawati dan berhasil merilis beberapa album, seperti Djanda Kembang, Semut Djepang, Sekretaris, Penganten Baru dan Palayan Toko.

Lewat popularitas di dunia musik, Benyamin mendapatkan kesempatan untuk main film. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Beberapa filmnya, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Intan Baiduri serta Si Doel Anak Modern (1977) yang disutradari Syumanjaya, semakin mengangkat ketenarannya.

Pada akhir hayatnya, Benyamin juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron/film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Gambang Kromong Al-Hajj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut.

Benyamin meninggal dunia seusai main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung.

Palang Pintu

Adu silat adalah salah satu adegan yang selalu muncul pada kesenian Palang Pintu Perkawinan. Pernikahan sendiri merupakan salah satu perjalanan manusia yang dianggap sakral bagi masyarakat Betawi. Saking sakralnya, maka ada beberapa prosesi yang harus dilalui oleh kedua mempelai menjelang pernikahannya dan salah satunya adalah Palang Pintu.

Upacara pernikahan diawali dengan arak-arakkan calon pengantin pria menuju ke rumah calon istrinya. Dalam arak-arakan itu, selain iringan rebana ketimpring juga diikuti barisan sejumlah kerabat yang membawa sejumlah seserahan mulai dari roti buaya yang melambangkan kesetiaan abadi, sayur-mayur, uang, jajanan khas Betawi, dan pakaian. Selain itu, perlengkapan kamar pengantin yang berat seperti tempat tidur serta lemari juga dibawa dalam prosesi arak-arakkan.

Tradisi Palang Pintu ini merupakan pelengkap saat pengantin pria yang disebut "tuan raja mude" hendak memasuki rumah pengantin wanita atawa "tuan putri". Nah, saat hendak masuk kediaman pengantin putri itulah, pihak pengantin wanita akan menghadang.

Awalnya, terjadi dialog yang sopan. Masing-masing saling bertukar salam, masing-masing saling mendoakan. Sampai akhirnya pelan-pelan situasi memanas lantaran pihak pengantin perempun ingin menguji kesaktian dan juga kepandaian pihak pengantin laki-laki dalam berilmu silat dan mengaji.

Baku hantam pun terjadi. Sudah pasti, akhirnya pihak lelakilah yang menang. (He he he... kalau pihak lelaki tak menang, tentu gak akan terjadi pernikahan bukan?).Usai memenangi pertarungan, pengantin perempuan pun biasanya meminta pihak lelaki untuk memamerkan kebolehannya dalam membaca Al Quran. Dan sudah pasti lagi, ujian ini pun mampu dilewatinya.

Berikut adalah drama satu babak ketika acara Palang Pintu berlangsung yang diwakili oleh pihak pengantin Perempuan (P) dan pihak pengantin Laki (L).

P: Eh, Bang-bang berenti, bang budeg ape luh. Eh, bang nih ape maksudnye nih, selong-selonong di kampung orang. Emangnye lu kagak tahu kalo nih kampung ade yang punye?...

P: Eh. Bang, rumah gedongan rumah belande, pagarnya kawat tiangnya besi, gue kaga mao tau nih rombongan datengnye dari mane mau kemane, tapi lewat kampung gue kudu permisi.

L: Oh. jadi lewat kampung sini kudu permisi, bang

P: Iye emangnye lu kate nih tegalan

L: Maafin aye bang, kalo kedatangan aye ama rombongan kage berkenan di ati sudare-sudare. Sebelomnye aye pengen ucapin dulu nih Bang. Assalamu'alaikum

P: Alaikum salam.

L: Begini bang. Makan sekuteng di Pasar Jum'at, mampir dulu di Kramat Jati, aye dateng ama rombongan dengan segala hormat, mohon diterime dengan senang hati

P: Oh, jadi lu uda niat dateng kemari. Eh Bang, kalo makan buah kenari, jangan ditelen biji-bijinye. Kalo ku udeh niat dateng kemari. Gue pengen tahu ape hajatnye?...

L: Oh. jadi Abang pengen tahu ape hajatnye. Emang Abang kage dikasih tau ame tuan rumehnye. Bang, ade siang ade malam, ade bulan ade matahari, kalo bukan lantaran perawan yang di dalam, kaga bakalan nih laki gue anterin ke mari.

P: Oh. jadi lantaran perawan Abang kemari?...Eh. Bang, kage salah Abang beli lemari, tapi sayang kage ade kuncinye, kage salah abang datang kemari, tapi sayang tuh, perawan ude ade yang punye

L: Oh.jadi tuh perawan ude ade yang punye. Eh Bang crukcuk kuburan cine, kuburan Islam aye nyang ngajiin, biar kate tuh perawan udeh ade yang punye, tetep aje nih laki bakal jadiin

P: .Jadi elu kaga ngerti pengen jadiin. Eh Bang kalo jalan lewat Kemayoran, ati-ati jalannye licin, dari pada niat lu kage kesampaian, lu pilih mati ape lu batalin

L: Oh. Jadi abang bekeras nih. Eh Bang ibarat baju udah kepalang basah, masak nasi udah jadi bubur, biar kate aye mati berkalang tanah, setapak kage nantinye aye bakal mundur

P: Oh. jadi lu sangke kage mau mundur, ikan belut mati di tusuk, dalam kuali kudu masaknye, eh. Nih palang pintu kage ijinin lu masuk, sebelum lu penuin persaratannye

L: Oh. Jadi kalo mao dapet perawan sini ade saratnye, Bang.?

P : Ade, jadi pelayan aje ada saratnye, apa lagi perawan.

L: Kalo begitu, sebutin saratnye. Bang.

P: Lu pengen tau ape saratnye. Kude lumping dari tangerang, kedipin mate cari menantu, pasang kuping lu terang-terang, adepin dulu jago gue satu-persatu

L: Oh. jadi kalo mao dapet perawan sini saratnye bekelai Bang.

P: Iye. Kalo lu takut, lu pulang.

L: Bintang seawan-awan, aye itungin beribu satu, berape banyak Abang punya jagoan, aye bakal adepin satu-persatu.

Setelah adegan di atas, pemain palang pintu biasanya melanjutkan dengan kembangan. Berikut adalah petikannya.

L: Bang, lu tau dalemnye rawe, pasti lu tau kali semanan, kalo mau tau namenye jaware, nih lu liat gue punye maenan (jalanin jurusnye ). Nih ..baru kembangnye .. Bang. Ntar buahnye..

P: Kelape ijo ditusuk belati, naek perahu lurus jalannye, udeh banyak jago yang mati, nih jurus pukulannye, (jalanin jurusnye) kalo elu buahnye. nih bijinye..

Beradu jurus pun berakhir. Pihak pengantin lelaki keluar sebagai pemenang. Perbincangan pun dilanjutkan kembali.

L: Gimane Bang.rase-rasenye jagoan Abang udeh pade rontok semua nih. Ape aye ame rombongan udah boleh masuk?...Ape masih ade saratnye lagi Bang?...

P: Ntar dulu Bang, enak aje. Pan lu tau. Buah cereme jangan diasinin, makan nasinye di kandang kude, sarat pertame emang lu ude penuin. Tapi masih ade sarat yang kedue.

L: Sebutin udah bang jangan lame-lame

P: Tukang lakse dagangnye malam jalannya muter ke Pasar Kranji gue minta elu jangan cume bise berantem tapi gue pengen denger lu bise ngaji

L: Tumbuk ketan jadinye uli-ulinye juge kudui ditapeni betaun-taun anak kampung gue bisa ngaji lagu yang Abang minta aye bawain

(baca sikeh)

L : Gimane Bang. soal berantem aye udah ladenin, soal ngaji abang udah dengerin ape aye ame rombongan udah boleh masuk, ape masih ade saratnye lagi, Bang?...

P: Cukup-cukup dah Bang. Rase-rasenye kage sie-sie aye bebesanan ame Abang soal silat Abang jago.soal ngaji Abang bise. Aye Cuma bisa bilang.
buah mangga bukan sembarang mangga buahnye satu tulung petikin aye bangga bukan sembarang bangga mantu yang begini yang aye arep-arepin
ahlan wasahlan buat Abang ame rombongan. Assalamu, alaikum.

Forum Betawi Rempug (FBR)


Forum Betawi Rempug (FBR) adalah sebuah organisasi kemasyarakatan betawi.FBR mulai jadi sorotan sejak kelompok ini menyerang anggota UPC (Konsorsium Rakyat Miskin Kota) di halaman kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada 2002. Saat itu anggota UPC meminta Komnas HAM mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membatalkan aksi penggusuran terhadap masyarakat miskin kota. Tiba-tiba anggota FBR muncul dan menyerang rombongan UPC. Akibatnya, tiga orang mengalami luka-luka.

Anggota FBR juga sering dimintai bantuan menjaga tanah yang bersengketa. Sesekali mereka harus berhadapan dengan petugas penggusuran. Satu contohnya ketika eksekusi tanah di kompleks Billy & Moon, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Seratusan orang FBR dan Forum Komunikasi Anak Betawi mesti berhadapan dengan 300 petugas Ketenteraman dan Ketertiban Pemerintah Kota Jakarta Timur. Peristiwa itu mengakibatkan dua petugas terluka di bagian kepala. Polisi akhirnya menangkap belasan anggota FBR dan Forkabi dengan barang bukti golok, pisau, samurai, dan palu besar.

Fadloli El Muhir merupakan figur sentral organisasi ini. Dia sempat masuk dalam kepengurusan Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Soerjadi. Menjelang Pemilu 2004, Fadloli ikut membidani lahirnya Aliansi Penyelamat Indonesia bersama sejumlah tokoh politik dan bekas petinggi polisi. Sejumlah deklarator aliansi ini akhirnya menjadi anggota tim sukses pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid.

Fadloli juga memiliki hubungan baik dengan keluarga bekas presiden Soeharto. Pondok pesantrennya di kawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur, mendapat sumbangan khusus dari keluarga Soeharto, dua tahun lalu. Untuk mengabadikannya, salah satu ruangan di pesantren putri itu diberinya nama Ruang Tien Soeharto.

Sekjen FBR, Lutfi Hakim, mengakui adanya sumbangan dari keluarga Soeharto melalui Siti Hardijanti Indra Rukmana bagi pembangunan pesantren mereka. Tapi, selama setahun terakhir, FBR telah membuka perusahaan sebagai sumber dana. Perusahaan itu bergerak di bidang konsultan, kontraktor, dan jasa pengamanan.

Fadloli El Muhir diadukan ke polisi oleh Sinta Nuriyah, istri mantan presiden Abdurrahman Wahid. Sinta Nuriyah Ia tersinggung dengan pernyataan Fadloli dalam sebuah acara di televisi, bulan lalu. Fadloli menyebut para wanita yang ikut pawai menentang rancangan undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi sebagai perempuan bejat, iblis, dan tak bermoral.

Kamus Bahasa Betawi


kamus
Mungkin nggak semue orang bisa nyadarin kalu bahase nyang selame eni ude jadi bahase pergaulannye entah bisa kerne mangkin jarangnye orang nyang ngomong pake tu bahase atawe kerne diyenye kendiri nyang malu kalu ngegunain tu bahase.

Sebenernye Bahase Betawi itu sipatnye Universal atawe ude umum. Kesatunye gampang dipelajarin dan dingertiin. Kedua ampir banyak tutur bahasa dari Jakarte eni nyang mirip dengan bahase Indunesie, cuman nambahin huruf “e” doang dibelakangnye jadile tuh orang dibilang ngomong Betawi…
KAMUS BAHASA BETAWI

A
Abong-abong, mentang-mentang
Ampeg, bau yang enggak enak dihidung seperti bau keringat orang.
Ancak, tempat sajian

B
Bacot, omongan
Bagen, biarin
Bancakan, rame-rame
Bego, dungu atau bodoh
Be, artinye berulang-ulang contoh : Bersin-bersin jadi bebangkis
Bebangkis, bersing-bersin
Beberekan, teriak-tereak
Beset, istilah untuk kata keset yaitu menarik kulit dari daging
Betoros, istilah untuk rangkaean nyang nggak teratur seperti buat buah yang banyak banget satu takeannye
Bingkle, Bete, Kedepe, pecahan genteng yang biasa dipake buat maen kasti
Boreh, melapisin biasanya dengan ramuan atau obat dari dedaunan
Bontot, terakhir
Budeg, pekak

C
Cablak, banyak ngomong
Cabo, perempuan malam (PSK)
Celam-celam, kalu ngeliat makanan sampai ngiler
Celeng, babi atau kepalanye ame badannye ampe muter-muter
Cemplung, cebur masuk kesuatu wadah
Cetom, artinye rakus
Cidekan, inceran
Congor, mulut

D
Demplon, montok
Dokok, rakus
Dongo, dungu
Dipan, tempat tidur

E
Embok, kakak ipar perempuan
Empan, umpan atawe semacem makanan buat binatang peliharaan
Engkong, kakek

G
Gegares, artinye makan mulu
Gepeng, pipih
Geroin, artinya dipanggil dengan teriak karena ingin mengetahui keberadaan seseorang yang sedang dicari tersebut.
Goban, lima puluh rebu (cina)
Gocap, lima puluh (cina)
Goceng, lima rebu (cina)
Gopek, lima ratus (cina)
Gotun, lima perak (cina)
Gregetan, sewot, emosi

H
I
Ilokan,
In, akhiran kan atau i, contoh meramaikan jadi ngerame-in, mengelabuhi jadi ngelabuin

J
Jabrah, badannye gede
Je, Jenye, Dienye, dia
Jidir, panci

K
Kang, Tukang, orang yang berjualan atau yang lagi bekerja atau profesinye jadi pekerja
Ke hamuk, banyaknye orang nyang berkerumun saking banyaknye
Kelam, adalah pinggiran jendela yang biasanye dipake buat naruh sesuatu
Kemplang, memukul kepala dengan menggunakan alat pukul dari arah samping
Kitiran, puteran semacem kincir dibuat dari bambu
Kotan-kotan (bahasa daerah Kebon Jeruk) yang istilahnye sama dengan “kadang-kadang”

L
Lantaran, sebabnye
Lekar, alat semajam jengkok tapi digunain buat ngaji
Lek-lekan, letaknye dipangkal leher diatas jakun.
Leker, enak banget (biasenye buat makanan)

M
Mangkenye, makenya, artinye beralasan dengan nesehatin orang
Manyun, cemberut
Mindo, artinye makan setelah makan wajib (biasanye orang nyang makan lagi beberapa saat sehabis diye makan siang).
Medel, gepeng, pipih
Meleding, telanjang dada (buat laki-laki)
Menggat, buron

N
Nyabak, nginjek atawe menjelajahin
Ngambreng, baunye nyebar kemane-mane
Ngamprah, tersebar ke mane-mane
Nge- , artinye me .. (contohnye melamar jadi ngelamar)
Ngegang, jalan seseorang dengan kaki nyang mengkang
Ngerambat, memetik ujung daun nyang biasanye buat ngelalap
Ngompreng, sambilan atawe nyambi buat ngedapeting penghasilan tambahan
Nutur, munguting
Nyai, Nenek

O
Ongkang-Ongkang Kaki, Bermales-malesan

P
Pacekan (bahasa daerah Kebon Jeruk), istilah ini bisa dipake kalu kita nganggap sesuatu itu bakal jadi bibit buat dikembangbiakin jadi banyak. Misalnye ayam jago atawe kambing bandot nyang bagus biasa dijadiin bibit unggul buat nurunin anak-anaknye atau ade jenis bibit pohonan nyang entah buahnye bagus, kembangnye bagus yang pada akhirnya mau dijadiin bibit unggul. maka tuh ayam atawe kambing atawe pohon disebut sebagai Pacekan.
Pangkeng, tempat tidur atau bise juge artinye kamar tidur
Pating, buat atawe untuk
Permili, keluarge atawe hubungan keluarge
Pisan, sedikit pun
Popol, menutup permukaan tubuh atau puser dengan dedaunan
Prengus, semacam bau rambut terbakar

R
Ringksek, rusak
Reken, hitung
Restan, sisa

S
Saking, sedemikian lamenye
Samsi, sodet
Seceng, seribu (cina)
Semetet, artinye sedikit
Semok, montok
Sewaya-waya, artinye sekonyong-konyong atawe saat ini juga
Sewot, emosi
Sobek, sobrek, istilah menunjukkan kegiatan melakukan perobekan atau menunjukkan keadaan barang yang rusak akibat terkoyak.
Sombok, spiker /toa
Songko, artinye gande bise di angkat hingga tangan si pengakat diatas kepala sambil bediri, bisa juga artinye pici buat orang sembahyang.
Sundung, semacam alat yang digunakan buat nyari empan kambing (seperti rumput duri badak atawe empanan laennye.

T
Tatak, alas
Teblak, tamparan di belakang punggung dengan telapak tangan
Tengari bolong, artinye pas matahari lagi sedeng panas panasnye
Teple-on, kesandung sampai kesleo
Tepleot, same dengan teple-on
Timpe, memukul dengan tangan
Tisi, sendok
Toyor, mendorong jidat seseorang dengan telapak tangan
Tunceng, digendong dengan care dijunjung atau ditaruh di atas pundak
Turu-turu (seturu), sekelompok atawe kelompok

Lenong

Sejarah

Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.

Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.

Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.

Jenis lenong

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.

Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.

Lenong Masih Menarik Warga Pinggiran
mandra
”Pokoknya Neng tanya tukang ojek, pasti mereka tahu di mana ada lenong,” begitulah jawaban Mpok Nori dari Grup Lenong Betawi Sinar Noray ketika dimintai ancar-ancar tempat mereka berpentas.

Minggu, 3 Juli, lalu Sinar Noray yang dipimpinnya memang mendapat order mengisi acara perkawinan di Desa Paku Jaya, Pondok Kacang. Suatu desa di pinggiran Jakarta , persisnya di belakang kompleks perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang.

Maka setelah menyusur beberapa kilometer jalan sempit di balik tembok perumahan, naik turun jalan berlubang yang becek, melintasi kebun dan persawahan, serta tentu saja bolak- balik bertanya kepada tukang ojek dan penjaga warung, ketemu jugalah Paku Jaya.

Ternyata desa itu tidak jauh dari kompleks Graha Raya Bintaro, dikepung beberapa cluster perumahan. Siapa menduga di lingkungan yang bagus itu ada sebuah desa di mana masyarakatnya keluar masuk melalui pintu butulan persis di belakang pos satpam sebuah cluster.

Gara-gara informasi Desa Paku Jaya masuk Kecamatan Serpong, jadilah perjalanan mencari desa tersebut berawal dari bundaran air mancur BSD dan menempuh jalan yang berliku.

162plate08fHari itu tak cuma lenong yang ditanggap si pemilik hajatan, tetapi juga musik dangdut. Jadilah sejak pukul satu siang kelompok Mpok Nori sudah memeriahkan acara.

Informasi bakal ada dangdut dan lenong begitu cepat menyebar ke seantero pinggiran Jakarta . Dalam perjalanan mencari desa tersebut, misalnya, hampir semua orang yang ditanya tahu benar di mana letak keramaian itu berlangsung.

” Kan di undangan yang dikirim ditulis ada pertunjukan lenong. Makanya dari yang nongkrong-nongkrong sampai sopir angkot juga tahu bakal ada lenong di sini,” kata pengojek yang jadi juru parkir dadakan.

Saat anak buahnya berdangdut ria di siang terik itu, Mpok Nori menumpang duduk di rumah salah satu warga. Ia sibuk melayani belasan penggemarnya yang sekadar bersalaman maupun berfoto bersama.

”Jam empat sore kami break. Jam delapan malam mulai lagi bunyi-bunyian gambang keromong dan dangdut. Lenongnya baru main jam 11 malam,” kata Mpok Nori.

Awak panggung Sinar Noray yang pada kesempatan itu total 70 orang sebagian istirahat, tidur-tiduran di lantai teras.

Petang makin ramai

Menjelang petang, keramaian makin terasa. Puluhan penjaja makanan, mulai dari bakso, soto kikil, sate kambing, kacang goreng, hingga tahu/tempe goreng, mengatur diri di belakang panggung dan pinggir lapangan yang dipenuhi ilalang tinggi.

Seperti air, penonton tak henti-hentinya mengalir. Mereka datang berbondong-bondong dari Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Jengkol, Pondok Kacang, Pondok Serut, Tajur, Kunciran, dan Cipete.

Ada yang berboncengan naik motor, jalan kaki, bahkan menumpang mobil bak terbuka. Kelompok undangan yang berdandan cantik dan necis berbaur dengan mereka yang sekadar ingin menonton lenong.

Di pintu butulan cluster perumahan, sepeda motor terus keluar masuk. Ratusan penonton yang meruah kontras dengan situasi cluster perumahan yang sunyi senyap.

Mereka asal duduk. Asap rokok mengepul di mana-mana. Semua terhanyut menikmati lenong, bahkan juga anak-anak kecil yang duduk di pinggir panggung dan bertahan hingga dini hari.

Banyolan sederhana, gerakan lucu yang diulang-ulang, sudah mengundang gelak tawa. Cerita bukan yang utama di sini. Jangan heran bila judul ”Siluman Babi Ngepet” pun baru diketahui pemain menjelang pentas.

”Jangan sampai judul yang pernah dimainkan di seputar sini diulang lagi,” kata Sumarto, menantu Mpok Nori, yang bertugas menentukan judul.

”Kami selalu siap main cerita apa saja. Sudah biasa kok improvisasi,” kata Mpok Nori menjelaskan.

Sayangnya, pementasan lenong Betawi kini tak sesering dulu. Di tahun 1980-1990-an, sebuah grup lenong bisa pentas delapan kali sebulan. Kini sebulan-dua bulan pun belum tentu ada order.

Maka ikatan keanggotaan menjadi amat cair. Kalau tak ada order, boleh saja para anggota ikut main kelompok lain. Memprihatinkan? Itulah kenyataannya.

Sedikit tentang Topeng Betawi

ami sudah mahfum kalau dari dunia Lenong tidak dapat dikesampingkan bintang lenong “Bokir” yang giginya nyerongos dan logatnya asli Betawi. Ayah Bokir, Dji’un, juga seorang pemain topeng Betawi semasa kolonial. Hampir seluruh hidup Bokir dipersembahkan untuk kesenian topeng dan lenong Betawi. Ia sudah bermain topeng Betawi sejak usia 13 tahun. Pada mulanya ia sebagai pemain kendang sampai rebab. Kemudian ia mendirikan dan memimpin kelompok topeng Betawi Setia Warga sejak tahun 1960-an hingga akhir hayatnya. Pada awal tahun 1970-an Setia Warga sering tampil di TVRI.

Penampilan terakhir Bokir dan kelompoknya, September 2002 lalu, di sebuah hajatan perkawinan di Cilangkap. Mereka memainkan cerita Salah Denger yang-antara lain-didukung Bolot, Malih, dan Bodong. Mandra dan Omas, pemain topeng betawi yang kemudian sebagai pemain sinetron, adalah keponakan Bokir. (IM)

Tokoh-tokoh Betawi

Perilaku Dan Sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat betawi sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). namun tetap ada optimisme dari masyarakat betawi generasi mendatang yang justreu akan menopang modernisasi tersebut.

Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Kepercayaan

Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Bahasa Betawi

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Tradisi Pernikahan Adat Betawi



Masyarakat Betawi memiliki sejarah panjang sebagaimana terbentuknya kota Jakarta sebagai tempat domisili asalnya. Sebagai sebuah kota dagang yang ramai, Sunda Kelapa, nama Jakarta tempo dulu, disinggahi oleh berbagai suku bangsa.

Penggalan budaya Arab, India, Cina, Sunda, Jawa, Eropa, Melayu dan sebagainya seakan berbaur menjadi bagian dari karakteristik kebudayaan Betawi yang kita kenal kini. Singkat kata, tradisi budaya Betawi laksana ‘campursari’ dari beragam budaya dan elemen etnik masa silam yang secara utuh menjadi budaya Betawi kini.

Suku Betawi sangat mencintai kesenian, salah satu ciri khas kesenian mereka yaitu Tanjidor yang dilatar belakangi dari budaya belanda, selain itu betawi memiliki kesenian keroncong tugu yang dilatar belakangi dari budaya Portugis-Arab, kesenian gambang kromong yang dilatar belakangi dari budaya cina. Selain kesenian yang selalu ditampilkan dengan penuh kemeriahan, tata cara pernikahan budaya betawi juga sangat meriah.

Untuk adat prosesi pernikahan betawi, ada banyak serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui “Mak Comblang”. Dilanjutkan lamaran, pingitan, upacara siraman. Prosesi potong cuntung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Kemudian dilanjutkan dengan malam pacar, malam dimana mempelai wanita memerahkan kuku kaki dan tangannya dengan pacar. Puncak adat betawi adalah Akad nikah.

Tradisi Meriah

Meriah dan penuh warna-warni, demikian gambaran dari tradisi pernikahan adat Betawi. Diiringi suara petasan, rombongan keluarga mempelai pria berjalan memasuki depan rumah kediaman mempelai wanita sambil diiringi oleh ondel-ondel, tanjidor serta marawis (rombongan pemain rebana menggunakan bahasa arab). Mempelai pria berjalan sambil menuntun kambing yang merupakan ciri khas keluarga betawi dari Tanah Abang.

Sesampainya didepan rumah terlebih dulu diadakan prosesi “Buka Palang Pintu”, berupa berbalas pantun dan Adu Silat antara wakil dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita. Prosesi tersebut dimaksudkan sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai calon suami yang akan menjadi pelindung bagi mempelai wanita sang pujaan hati. Uniknya, dalam setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.

Prosesi Akad Nikah

Pada saat akad nikah, rombongan mempelai pria memberikan hantaran berupa :

  1. Sirih, gambir, pala, kapur dan pinang artinya segala pahit, getir, dan manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami dan istri.
  2. Maket Mesjid, maksudnya adalah agar mempelai wanita tidak lupa akan kewajibannya kepada agama dan harus menjalani shalat serta mengaji.
  3. Kekudung, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya.
  4. Mahar atau mas kawin dari pihak pria untuk diberikan kepada mempelai wanita.
  5. Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama.
  6. Petise yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misal : wortel, kentang, bihun, buncis dan sebagainya.

Acara berlanjut dengan pelaksanaan akad nikah. Yang kemudian dilanjutkan dengan penjemputan pengantin wanita. Selanjutnya, kedua pengantin dinaikkan ke dalam sebuah delman yang sudah dihias dengan masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dari luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam yang ditempelkan pada delman, maka orang-orang mengetahui bahwa ada pengantin yang akan pergi ke penghulu.

Pernikahan

Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada dua budaya asing yang melekat dalam prosesi pernikahan. Pengantin pria dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana pengantin wanita dipengaruhi adat Tionghoa. Demikian pula dengan musik yang meramaikan pesta pernikahan.

Pituah

Perjalanan Nyai Dasima
Oleh Ibnu Wahyudi


Masih banyak yang enggan memasukkan novel Nyai Dasima menjadi bagian integral sastra Indonesia modern, namun realitas kesastraan ternyata jelas menunjukkan gambaran berbeda. Novel Nyai Dasima ini bukan versi terbaru dari perjalanan dramatis seorang nyai bernama Dasima itu. Kendati begitu, diterbitkannya kembali Nyai Dasima versi S.M. Ardan, yang dilengkapi karya G. Francis, menegaskan lagi perihal kesohoran sebuah fiksi yang terbit pertama kali tahun 1896 itu.

Seperti disebutkan, Nyai Dasima ini muncul atau dipublikasi pada tahun 1896 dan setakat ini dapat disebut sebagai prosa pertama dalam entitas sastra Indonesia modern. Dinyata-kan demikian lantaran sebelumnya tidak dapat dijumpai adanya prosa de-ngan bahasa Melayu serta diekspresikan lewat cetakan berhuruf latin. Memang, kalau untuk puisi, telah jauh mendahului penerbitan prosa. Setidak-tidaknya, kumpulan puisi Indonesia modern pertama telah terbit pada tahun 1857. Munculnya ragam puisi mendahului prosa ini secara genealogis maupun nalar-sastra, tidak mengherankan mengingat dalam ranah lisan, pola syair atau pantun juga jauh lebih dikenal dan dikuasai masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan hikayat atau prosa pada umumnya.

Dalam cetak ulang Nyai Dasima ini dinyatakan bahwa pengarangnya adalah G. Francis dan penerbitnya adalah Kho Tjeng Bie & Co. Namun buku berjudul lengkap Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban daripada Pemboedjoek, nama G. Francis tertera hanya sebagai "jang mengeloewarken". Sementara, nama penerbit Kho Tjeng Bie & Co. tidak ada. Tidak mengherankan jika W.V. Sykorsky dalam tulisannya berjudul "Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature" (BKI, 1980) me-ragukan sosok G. Francis sebagai penulis Nyai Dasima. Kendati demikian, tetap banyak yang meyakini bahwa G. Francis adalah pengarang yang mungkin sekaligus penerbit, sebab akhir abad ke-19 itu sudah dikenal luas adanya toko buku G. Francis, berlokasi di "Molenvliet (Kebon Djeroek) 10/63, Batavia".

Setahun setelah terbitnya Tjerita Njai Dasima, prosa ini mengalami transformasi menjadi syair yang ditulis O.S. Tjiang. Pengarang ini mengaku bahwa Nyai Dasima yang terbit tahun 1896 itu adalah babon syairnya. Beberapa tahun kemudian, Nyai Dasima yang berupa syair ini ditulis ulang oleh Akhmad Beramka yang menurut dugaan telah menyalinnya antara tahun 1906-1909. Demikian pula dengan Lie Kim Hok, telah menerbitkan syair ini yang selengkapnya berbunyi Sjair Tjerita di Tempo Tahon 1813, Soeda Kadjadian di Betawi, Terpoengoet dari Boekoenja Njai Dasima, sampai mengalami cetakan keenam (1922). Bahkan orang yang hanya memahami bahasa Belanda pun dapat menikmati kisah ini lewat karya A. Th. Manusama dengan judul Nyai Dasima: Het Slachtoffer vanbedrog en misleiding, een historische zeden roman van Batavia (1926).

Transformasi yang terjadi bukan sebatas dalam genre yang sama, melainkan sungguh-sungguh beralih "bahasa", seperti menjadi film, sinetron, atau sandiwara. Dalam bentuk gambar hidup, tercatat pertama kali dibuat tahun 1929 dengan judul “Njai Dasima”. Film ini diproduksi oleh Tan's Film dengan sutradara Lie Tek Swie. Oleh produser dan sutradara yang sama, dibuat pula “Njai Dasima” (II) tahun 1930, dan diakhiri dengan “Pembalesan Nancy” (Nancy Bikin Pembalesan) atau “Njai Dasima III” pada tahun yang sama. Ketiga film ini selain masih hitam-putih juga belum bersuara. Baru pada tahun 1932, masih oleh produser sama tapi dengan sutradara berbeda (Bachtiar Effendy), dibuatlah film “Njai Dasima” yang telah memasukkan teknologi suara. Sementara itu, kendati kisahnya agak berbeda, pada tahun 1940 telah diproduksi sebuah film berjudul “Dasima” oleh Java Industrial Film dengan sutradara Tan Tjoei Hock. Akhirnya, untuk produksi layar lebar, tercatat pula sebuah film yang cukup berani pada masanya, berjudul “Samiun dan Dasima” yang dibuat oleh Chitra Dewi Film Production tahun 1970 dengan sutradara Hasmanan.

Kisah Dasima ini memang telah dibuat dalam format sinetron. Selain itu, tahun 1996, tragedi Dasima ini pernah dibuat berseri dan ditayangkan RCTI dengan arahan Ali Shahab. Untuk dunia panggung, cerita wanita cantik dari Curug, yang dipiara Edward W. ini tergolong populer. Setidak-tidaknya tahun 1960-an, perkumpulan "Kuncup Harapan" yang dimotori S.M. Ardan telah pentas keliling dengan kisah ini. Tentu, pementasan lain sangat mungkin telah berlangsung di mana-mana baik yang tradisional maupun modern. Untuk yang tradisional, misalnya pementasan oleh Komedie Stambul seperti diungkapkan oleh Kenji Tsuchiya dalam "On Cerita Nyai Dasima" (Sejarah, No. 7).

Demikian pula dengan Opera Miss Riboet, di masa penjajahan konon sudah mementaskan “Nyai Dasima” sebanyak 127 kali, selain tradisi sahibul hikayat dengan tukang cerita yang sering menampilkan kisah melodramatis ini. Sementara yang berpentas belakangan adalah EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) yang mengangkat judul “Madame Dasima” dalam bentuk drama musikal tahun 2001, meski sesungguhnya drama ini tidak langsung diangkat dari karya G. Francis, S.M. Ardan, atau Rachmat Ali.

Rachmat Ali? Ya, tahun 2000, gubahan Rachmat Ali dalam bentuk novel yang juga berjudul Nyai Dasima, diterbitkan Grasindo. Sedangkan S.M. Ardan sendiri telah menerbitkan karya ini dengan nada yang berbeda dari karya G. Francis, pada tahun 1965 (Penerbit Triwarsa) lalu di-cetak ulang tahun 1971 oleh Pustaka Jaya.

Kalau sejak akhir tahun 1920-an pembaca Belanda telah dapat mengonsumsi kisah ini, pembaca berbahasa Inggris dapat mengapresiasinya melalui terjemahan Harry Aveling, yang terbit tahun 1988. Perjalanan hidup Dasima pun ada yang digubah dalam lagu keroncong yang sering hanya merupakan bagian dari suatu pertunjukan. Kepopuleran Nyai Dasima, secara tersurat termaktub pula dalam beberapa karya fiksi, misalnya menjadi karya yang dibaca oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pram atau sebagai drama yang disinggung dalam karya Du Perron.

Sastra populer

Jelas Nyai Dasima masih luas dikenal dan kerap mewujud menjadi semacam mitos atau legenda, beredar di khalayak dengan bermacam bumbu. Namun, apa sesungguhnya daya tarik Nyai Dasima sehingga ia mampu melintasi waktu dan bermetamorfosis dalam wujud narasi yang berbagai ini? Jawabannya, agaknya tidak lain karena karya ini merepresentasi formula sastra populer yang salah satu tekanannya adalah mengharu-biru emosi pembaca lewat sensitivitas latar multietnis dan bahkan bersentuhan dengan religiusitas yang dikemas dengan bungkus kesetiaan dan perselingkuhan. Pola ini, dalam zaman yang bagaimanapun, rasanya akan selalu menawan.

Ditilik dari aspek penceritaan, Nyai Dasima tidak ada "istimewa"-nya. Terlebih jika didekati dan dikomparasi dengan karya-karya yang terbit setelahnya, yang se-ring diperkaya dengan eksperimentasi dan inovasi, lagi-lagi karya ini memang biasa saja. Tapi, nyatanya, karya ini mampu bertahan untuk sekian lama, bahkan hingga tahun 2007 ini. Tentu kenyataan ini ada musababnya. Agaknya, memang ada sejumlah aspek formal yang beroperasi mengendalikan "kelanggengan" kisah ini di samping sisi romantik yang niscaya telah menjadi stimulator narasi.

Paling kentara, walau hanya sebuah melodrama biasa, tema dalam Nyai Dasima ini niscaya cenderung awet dan berpeluang mampu menggelitik emosi. Perbedaan etnis atau ras, cinta, selingkuh, diskriminasi, pemengaruhan sikap, keirihatian, penaklukan lewat guna-guna, peracunan, penistaan, dan pembunuhan, yang terdapat sekaligus di dalamnya, adalah tema-tema menggoda. Tema-tema "inti" itu, secara implisit memosisikan dirinya sebagai cerita yang selalu menarik perhatian atau menjadi semacam rambu moral.

Adanya stereotif tokoh-tokoh yang berlebihan, bisa saja "jatuh" secara kualitatif, tapi secara atraktif, sangat mungkin mampu memenuhi ekspektasi pembaca. Sebagai karya yang muncul dalam masyarakat yang umumnya masih niraksara (akhir abad ke-19), hadirnya karakter budiman, menawan, atau kebalikannya, kelewat dengki, tega dalam menista, serta kejam, merupakan semacam keharusan yang diam-diam dituntut pembaca. Semua ini ada dalam Nyai Dasima dan pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan. Penampilan tokoh-tokoh yang hitam-putih semacam itu, jangan dikira akan dijauhi oleh pembaca; justru sebaliknya, ia dapat menjadi ruang yang berfungsi sebagai semacam katarsis, meskipun hanya kuasi.

Kelinearan alur yang sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tapi malahan "memaksa" pembaca masuk ke teras persoalan secara intensif; menyebabkan pembaca masuk dalam penglibatan tak berjarak, sehingga sentimentalitas teraduk-aduk secara efektif. Kondisi semacam ini memang tidak mengarahkan pembaca kepada kekritisan, melainkan hanya pada peluapan emosional belaka.

Melihat faktor-faktor ini saja, tidak salah jika Nyai Dasima dapat diindikasi sebagai karya populer. Namun, kecenderungan "populer" pada sebuah karya tidak semestinya lantas mengarahkan kita kepada sikap "menganggap" atau "menafikan" yang bersifat sosiohistoris. Dinamika khazanah sastra, secara esensial, tidak lain cerminan perjalanan intelektualitas, paling kurang dari kesahajaan menuju ke kekompleksan.

Oleh karena itu, jika Nyai Dasima secara stilistik bersahaja, itu pun merupakan ekspresi jujur dalam menampilkan dirinya bersangkutan dengan lingkungan intelektual saat itu. Semua ini tentu harus dipandang dalam kaitannya dengan tradisi penulisan saat itu, kemelekhurufan atau situasi kependidikan, taraf apresiasi masyarakat semasa, sistem penerbitan atau reproduksi yang ada, maupun sistem-sistem lain yang secara alami membentuk suatu kondisi. Kelahiran Nyai Dasima, sekali lagi, berkaitan dengan situasi intelektualitas yang masih berada dalam taraf "rendah" itu dan tidak berasal dari suatu tradisi penulisan fiksi yang telah mapan.

Bagaimanapun, Nyai Dasima yang memang sebuah karya sastra populer, justru dapat dikatakan sebagai yang meretas jalan kepada hadirnya kesusastraan Indonesia modern.

Penulis, peminat sastra, tinggal di Depok.