Lenong

Sejarah

Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.

Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.

Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.

Jenis lenong

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.

Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.

Lenong Masih Menarik Warga Pinggiran
mandra
”Pokoknya Neng tanya tukang ojek, pasti mereka tahu di mana ada lenong,” begitulah jawaban Mpok Nori dari Grup Lenong Betawi Sinar Noray ketika dimintai ancar-ancar tempat mereka berpentas.

Minggu, 3 Juli, lalu Sinar Noray yang dipimpinnya memang mendapat order mengisi acara perkawinan di Desa Paku Jaya, Pondok Kacang. Suatu desa di pinggiran Jakarta , persisnya di belakang kompleks perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang.

Maka setelah menyusur beberapa kilometer jalan sempit di balik tembok perumahan, naik turun jalan berlubang yang becek, melintasi kebun dan persawahan, serta tentu saja bolak- balik bertanya kepada tukang ojek dan penjaga warung, ketemu jugalah Paku Jaya.

Ternyata desa itu tidak jauh dari kompleks Graha Raya Bintaro, dikepung beberapa cluster perumahan. Siapa menduga di lingkungan yang bagus itu ada sebuah desa di mana masyarakatnya keluar masuk melalui pintu butulan persis di belakang pos satpam sebuah cluster.

Gara-gara informasi Desa Paku Jaya masuk Kecamatan Serpong, jadilah perjalanan mencari desa tersebut berawal dari bundaran air mancur BSD dan menempuh jalan yang berliku.

162plate08fHari itu tak cuma lenong yang ditanggap si pemilik hajatan, tetapi juga musik dangdut. Jadilah sejak pukul satu siang kelompok Mpok Nori sudah memeriahkan acara.

Informasi bakal ada dangdut dan lenong begitu cepat menyebar ke seantero pinggiran Jakarta . Dalam perjalanan mencari desa tersebut, misalnya, hampir semua orang yang ditanya tahu benar di mana letak keramaian itu berlangsung.

” Kan di undangan yang dikirim ditulis ada pertunjukan lenong. Makanya dari yang nongkrong-nongkrong sampai sopir angkot juga tahu bakal ada lenong di sini,” kata pengojek yang jadi juru parkir dadakan.

Saat anak buahnya berdangdut ria di siang terik itu, Mpok Nori menumpang duduk di rumah salah satu warga. Ia sibuk melayani belasan penggemarnya yang sekadar bersalaman maupun berfoto bersama.

”Jam empat sore kami break. Jam delapan malam mulai lagi bunyi-bunyian gambang keromong dan dangdut. Lenongnya baru main jam 11 malam,” kata Mpok Nori.

Awak panggung Sinar Noray yang pada kesempatan itu total 70 orang sebagian istirahat, tidur-tiduran di lantai teras.

Petang makin ramai

Menjelang petang, keramaian makin terasa. Puluhan penjaja makanan, mulai dari bakso, soto kikil, sate kambing, kacang goreng, hingga tahu/tempe goreng, mengatur diri di belakang panggung dan pinggir lapangan yang dipenuhi ilalang tinggi.

Seperti air, penonton tak henti-hentinya mengalir. Mereka datang berbondong-bondong dari Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Jengkol, Pondok Kacang, Pondok Serut, Tajur, Kunciran, dan Cipete.

Ada yang berboncengan naik motor, jalan kaki, bahkan menumpang mobil bak terbuka. Kelompok undangan yang berdandan cantik dan necis berbaur dengan mereka yang sekadar ingin menonton lenong.

Di pintu butulan cluster perumahan, sepeda motor terus keluar masuk. Ratusan penonton yang meruah kontras dengan situasi cluster perumahan yang sunyi senyap.

Mereka asal duduk. Asap rokok mengepul di mana-mana. Semua terhanyut menikmati lenong, bahkan juga anak-anak kecil yang duduk di pinggir panggung dan bertahan hingga dini hari.

Banyolan sederhana, gerakan lucu yang diulang-ulang, sudah mengundang gelak tawa. Cerita bukan yang utama di sini. Jangan heran bila judul ”Siluman Babi Ngepet” pun baru diketahui pemain menjelang pentas.

”Jangan sampai judul yang pernah dimainkan di seputar sini diulang lagi,” kata Sumarto, menantu Mpok Nori, yang bertugas menentukan judul.

”Kami selalu siap main cerita apa saja. Sudah biasa kok improvisasi,” kata Mpok Nori menjelaskan.

Sayangnya, pementasan lenong Betawi kini tak sesering dulu. Di tahun 1980-1990-an, sebuah grup lenong bisa pentas delapan kali sebulan. Kini sebulan-dua bulan pun belum tentu ada order.

Maka ikatan keanggotaan menjadi amat cair. Kalau tak ada order, boleh saja para anggota ikut main kelompok lain. Memprihatinkan? Itulah kenyataannya.

Sedikit tentang Topeng Betawi

ami sudah mahfum kalau dari dunia Lenong tidak dapat dikesampingkan bintang lenong “Bokir” yang giginya nyerongos dan logatnya asli Betawi. Ayah Bokir, Dji’un, juga seorang pemain topeng Betawi semasa kolonial. Hampir seluruh hidup Bokir dipersembahkan untuk kesenian topeng dan lenong Betawi. Ia sudah bermain topeng Betawi sejak usia 13 tahun. Pada mulanya ia sebagai pemain kendang sampai rebab. Kemudian ia mendirikan dan memimpin kelompok topeng Betawi Setia Warga sejak tahun 1960-an hingga akhir hayatnya. Pada awal tahun 1970-an Setia Warga sering tampil di TVRI.

Penampilan terakhir Bokir dan kelompoknya, September 2002 lalu, di sebuah hajatan perkawinan di Cilangkap. Mereka memainkan cerita Salah Denger yang-antara lain-didukung Bolot, Malih, dan Bodong. Mandra dan Omas, pemain topeng betawi yang kemudian sebagai pemain sinetron, adalah keponakan Bokir. (IM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar